Era
Orde Baru ditandai dengan pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat
Presiden RI pada 12 Maret 1967 untuk menggantikan posisi Presiden
Soekarno. Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh
kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal koreksi terhadap
penyelewengan pada masa yang lalu. Oleh karena itu, di era Orde Baru
harus diadakan stabilisasi politik demi kelancaran pelaksanaan
pembangunan nasional. Upaya yang ditempuh untuk mencapai stabilisasi
politik adalah dengan mengadakan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu:
1. Berwujud
kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut
dengan konsensus utama.
2. Konsensus
mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, lahir sebagai
lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan, yaitu antara pemerintah, partai politik dan masyarakat.
Elemen
penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional adalah
pemerintah, TNI serta beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian
dimuat ke dalam TAP MPRS No. XX/1966. Sejak saat itu, konsensus nasional
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hasil dari konsensus tersebut adalah:
1. Penyederhanaan partai politik.
Dalam
rangka menghadapi pemilu, Presiden Soeharto telah menetapkan
organisasi-organisasi yang dapat ikut sebagai peserta pemilu dan anggota
DPR/ DPRD yang diangkat melalui Surat Keputusan No. 34 pada 23 Mei
1970. Pada 1971 pemerintah melakukan penyederhanaan partai politik
dengan melakukan pengelompokan.
Parpol
Islam seperti NU, Parmusi, PSII dan Perti tergabung dalam kelompok
Persatuan Pembangunan. Parpol nasionalis seperti Partai Katolik,
Parkindo, PNI dan IPKI tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan.
Selain itu, ada kelompok yang bernama Sekber Golongan Karya menjadi
Golongan Karya.
Pada
5 Januari 1973 kelompok Persatuan Pembangunan berganti nama menjadi
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima hari kemudian, yaitu tepatnya
pada tanggal 10 Januari 1973, kelompok Demokrasi Pembangunan juga
berganti nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
2. Indoktrinasi ideologi
Indoktrinasi
ideologi ini berdasarkan tujuan dari konsensus nasional, yaitu
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kebijakan yang ditempuh adalah melaksanakan penataran P-4 (Pedoman
Penghayatan Pengalaman Pancasila) atau yang dikenal dengan Ekaprasetia
Pancakarsa. Tujuannya adalah membuat rakyat Indonesia menjadi manusia
yang dalam keadaan apapun secara konsisten dan konsekuen mengamalkan
Pancasila. Dalam pelaksanaannya terdapat maksud yang lain, yaitu
diharapkan akan dapat melestarikan Pancasila di lingkungan dimanapun ia
berada.
3. Dwifungsi ABRI
Dwifungsi
ABRI merupakan nama lain dari penempatan peran ganda ABRI, yaitu peran
pertahanan keamanan dan sosial. Peran tersebut dilandasi pemikiran
historis bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. TNI dan
Polri memiliki hak politik yang didasari oleh pasal 27 ayat 1 UUD 1945
bahwa setiap warga negara memiliki hak politik dan kedudukan yang sama.
Pada pemilu 1971 TNI/ Polri sudah tidak ikut aktif didalamnya, maka di
lembaga MPR/ DPR dan DPRD, TNI/ Polri mendapat jatah kursi dengan
pengangkatan yang didasari oleh fungsi stabilisator dan dinamisator.
Sumber:
Mustopo, Prof. Dr. M. Habib dkk. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas XII Program IPS. Jakarta: Yudhistira
http://aldorahman.blogspot.com/2010/05/kondisi-politik-era-orde-baru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar