A. Masa Keemasan
Masuknya agama Hindu ke
Indonesia terjadi pada abad ke-4 Masehi, hal ini dapat diketaahui dengan adanya
bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke-4 Masehi di kerajaan
Kutai. Dan prosesnya tidak jauh berbeda dengan masuknya agama Islam di
Indonesia yaitu dengan melalui kontak-kontak dagang. Transaksi dagang India
yang beragama Hindu memicu pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu di
Indonesia yang pada saat itu bersistem kerajaan. Jejak-jejak pertumbuhan Hindu
di Indonesia di temukan di Kalimantan Timur (Kutai, abad ke-4), Bali, dan Jawa
Barat (Purnawarman, abad ke-5). Ada dua sumber yang dapat dijadikan acuan untuk
memahami perkembangan agama Hindu di tahap awal Nusantara (baca: Indonesia),
yaitu prasasti dan bangunan suci (candi) yang erat kaitannya dengan kerajaan
Hindu pada waktu itu.
1. Prasasti
Prasasti pertama yang
berkaitan erat dengan kerajaan Hindu ditemukan pertama kali di Kutai,
Kalimantan Timur pada awal abad ke-5 dalam bentuk tujuah buah Yupa (memakai
huruf Pallawa dan bahasa sansakerta). Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan
keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa
itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”,
selain itu Prasasti tersebut memuat silsilah raja-raja pertama Kutai.
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
“Vaprakeswara”. Di jawa Barat juga ditemukan sejumlah prasasti (memakai huruf
Pallawa dan bahasa sansakerta) yang dibuat pada abad ke-5 sebagai peninggalan
raja Purnamarwan.
Dan hal yang perlu digaris
bawahi, semua prasasti yang ditemukan di Kalimantan Timur dan jawa Barat tidak
menunjukkan angka tahun yang pasti, prasasti pertama yang berangka tahun adalah
prasasti Canggal yang yang memakai tahun Candra Sangkala “Sruti Indria
Rasa”, artinya tahun 654 Saka/ 732 M. Berdasarkan prasasti Canggal dan
sejumlah prasasti yang ditemukan di Yogyakarta, Magelang, dan Kedu, dapat
disimpulakan bahwa antara tahun 732-929 M di Jawa Tengah berdiri kerajaan Hindu
yang bernama Kerajaan Mataram, dengan ibu Kota Kerajaan berrnama Medang.
Prasasti-prasasti itu menyebut dewa-dewa Tri Murti, dengan dewa Siwa sebagai
dewa yang paling utama, dan dapat dipastikan Hinduisme yang menonjol waktu itu adalah
sekte Siwa.
Prasasti Dinoyo (760 M)
yang ditemukan di Jawa Timur dekat kota malang dengan memakai huruf Jawa Kuno
berbahasa sansakerta, menceritakan keberadaan kerajaan Kanjuruhan yang
diperintah oleh dewa Simha, beliau tergolong raja yang sangat bijaksana, dan
pemuja dewa Siwa. Selajutnya kerajaan Kanjuruhan disatukan oleh Mataram pada
zaman pemerintahan Rakai Balitung. Pada tahun 929 kerajaan Mataram Jawa Tengah
dipindahkan oleh Mpu Sindok ke Tawlang (Jawa Timur, deket Jombang) dan
mendirikan dinasti Isana. Senagai seorang yang taat beragama Hindu, pada masa
pemerintahan Mpu Sindok berhasil disusun kitab-kitab agama Hindu (Bhuana
Kosa, Bhusana Sanksepa, Vrhaspati Tattva). Pemerintahan selanjutnya yang
dipimpin oleh Dharmawangsa Teguh (991-1016) disusun kitab hukum Purwadigama (bersumber
pada Manava Dharmasastra) dan Siwasesana. Di lakukan juga
penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana dari bahasa Sansakerta ke bahasa Jawa
yang dipimpin langsung oleh Dharmawangsa sebagai tim penerjemah. Pada pemerintahan
Airlangga yang juga beragama Hindu tapi bersekte Wisnu (1019-1042) dalam
uapayanya sebagai penerus Dinasti Isana, berhasil disusun kitab Arjuna Wiwaha
oleh Mpu Kanva (1030 M). Kemudian Airlangga lengser keprabon mandeg pandito,
menjadi seorang pertapa dengan nama Rsi Gentayu, setelah sebelumnya membagi
kerajaan menjadi dua, yaitu Jenggala dan Kediri dan menyerahkan kepada kedua
putranya.
Perkembangan selanjutnya
Kerajaan Kediri menjadi kerajaan besar dan berpengaruh dengan agama Hindu yang
bersekte Wisnu. Pada pemerrintahan raja pertama yaitu Jayawarsa berhasil dibuat
kekawin Ramayana. Pada masa pemerintahan Kameswara (1115-1130) disusun kekawin
Samarandana oleh Mpu Darmaja. Pada masa pemerintahan Jayabaya (1130-1160)
berhasil digubah kekawin Bharata Yudha oleh Mpu Sedah dan Panuluh; Kisnayana,
Hariwangsa, dan Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh; Lubdaka oleh Mpu Tanakung; dan
Bhoma Kavya oleh Monaguna. Dan akhirnya Kerajaan Kediri runtuh pada masa
pemerintahan Kertanegara (1200-1222) karena diserang oleh Ken Arok (pendiri
kerajaan singosari).
Bersamaan dengan
pemerintahan Airlangga di Jawa Timur, di Jawa Barat terdapat kerajaan
Parahyangan Sunda. Rajanya bernama Sri Jayabhupati Jayamahen Wisnumurti,
beragama Hindu sekte Vaisnava. Kerajaan tersebut meninggalkan prasasti tentang
pemujaan kepada Sang Hyang tapak.
2. Candi
Bukti lain yang menunjukkan
bahwa dewa siwa menjadi dewa yang paling utama di mayoritas masyarakat
Indoneisa khususnya di Jawa Tengah pada saat kerjaan Mataram Jawa Tengah
(723-929 M) adalah pendirian candi Prambanan pada zaman pemerintahan Pakai
Pikatan dan permaisurinya Pramodhawardhani yang menempatkan candi Siwa sebagai
candi pusat. Hal itu terjadi sebelum Mpu Sindok memindahkan Kerajaan Mataram
Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Jawa Timur Dewa Simha seorang Raja Kanjuruhan
(760 M) mendirikan candi Badut yang di dalamnya ada patung Lingga dan patung
Puntikeesvara sebagai penghormatan kepada Maharsi Agastysa yang selalu
digambarkan sebagai Siwa dalam wujudnya sebagai Mahaguru.
Pada kerajaan singosari, banyak didirikan candi-candi
untuk pemujaan kepada arwah-arwah raja yang sudah wafat. Yang cukup menarik
raja-raja tersebut didirkan dua candi; Hindu dan Budha. Seperti Ken Arok, yang
bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi dibuatkan candi kegenengan (dipuja
sebagai titisan Siwa) dan candi Usana (dipuja sebagai Budha).
Kehidupan berlangsung rukun
ketika masa kerajaan Majapahit (1293-1528) sehingga memberikan peluang dan
berkembangnya kebudayaan, yang diwujudkan dalam bentuk candi dan karya sastra
dan produk perundang-undangan. Peninggalan candi Seperti candi Simping, candi
Penataran, dan candi Rimbi. Karya satranya seperti ‘Negara Kertagama’
(Mpu Prapanca) yaitu tentang keluarga kerajaan dan kondisi masyarakat, ‘Sutasoma’
(Mpu Tantular) tentang keserasian hubungan antara Hindu-Buddha lewat
sesanti Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, dan ‘Arjuna
Wiwaha’ tentang ajaran kepemimpinan panca stiti dharmeng prabu, tentu
pagelaran, Calon Arang, Bubuksah, Sundayana, Rangga Lawe, dll. Dua buah kitab
hukum yang berhasil disusun adalah kitab Kutaramanawa yang dibuat oleh gajah
Mada, mengacu pada Manavadharmasastra disesuikan dengan hukum adat yang sudah
ada dan kitab Patiguna yang mengatur tentang pertanian dan pemanfaatan tanah.
B. Masa Keruntuhan
Masa keruntuhan agama Hindu
di Indonesia terjadi setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk wafat, kerajaan
Majapahit mengalami kemunduruan yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Tidak adanya kaderisasi
kepemimpinan sehingga tidak ada yang mempu menggantikan kedudukan gajah Mada,
2. Adanya perpecahan keluarga
yang kemudian disusul dengan terjadinya perang Peregreg,
3. Dan juga masuknya agama
Islam yang sebelumnya memang telah mengalami perekmabangan begitu pesat di
daerah pesisir; Tuban, Gresik, Jepara, Demak dll.
Pada saat Mjapahit lemah,
bandar-bandar islam menyerang kerajaan Majapahit dengan dipimpin oleh sultan
Demak yaitu Raden Patah. Keruntuhan Majapahit mengawali keruntuhan
kerajaan-kerajaan Hindu lainnya, seperti Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh
Kesultanan Banten, sedangkan Blambangan diserbu ooleh sultan Agung. Keruntuhan
kerajaan Hindu Majapahit yang disusul dengan Transformasi agama rakyat dari
Hindu menjadi Islam secara umum memang berlangsung cukup mudah, karena pada
zaman itu agama rakyat bergantung pada agama Raja “agama ageming aji” sehingga
merubah Hindu mayoritas menjadi Hindu Minoritas. Akan tetapi ada juga
orang-orang yang menolak untuk masuk Islam, sehingga mereka terpaksa
menyyingkir ke Pasuruan, Panarukan, dan Bali.
Beberapa pendeta yang
datang ke Bali karena menolak untuk masuk Islam diantaranya adalah Dang Hyang
Nirartha dan Dang Hyang Astapaka (Buddha). Kedua pendeta tersebut diangkat
menjadi pendeta Istana di Kerajaan Gelgel oleh Raja Dalem Waturenggong, oleh
sebab itu terjadilah banyak perubahan, yaitu:
1. Kedudukan para Mpu dan
Rsi Bujangga yang tadinya sebagai bhagavanta kerajaan digantikan
kedudukannya oleh beliau berdua;
2. Sistem catur warna yang
sudah ada sejak zaman Bali Kuno diganti dengan catur wangsa. Dalam hal
ini keturunan kedua pendeta tersebut menjadi Brahmana wangsa, keluarga Dalem
(kerajaan) menjadi Ksatria wangsa, sedangkan para arya yang berasal dari kedri
dan majapahit dijadikan Waisya wangsa, selain dari Tri wangsa tersebut
dinamakan Sudra wangsa. Pada umumnya orang-orang yang asli Bali tidak dapat
menerima digoolongkan sebagai sudra wangsa dan akhirnya mereka menyebut dirinya
sebagai Jaba (luar);
3. Disusun lontar-lontar
pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat menurut sistem catur wangsa serta
pedoman upacara keagamaan. Mpu Lutuk menulis sebuah lontar Plutuk yang berisi
tentang pedoman sesaji;
4. Sebutan pendeta Dang Hyang
menjadi Pedanda. Pedanda Nirartha banyak menulis lontar keagamaan, misalnya
Kidung Sebun Sangkung, Dharma Pitutur, Dharma Putus, Dharma Senya Keling,
Selutuk Menor, Siwa Sesana, Putra Sesana, dll.
BAB III
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN HINDU
DI INDONESIA PADA MASA
PENJAJAHAN
(Kemunculan agama Tirta dan
Ajarannya)
Setelah Zaman Waturenggong
di Bali, perekmebangan agama Hindu di Bali tampaknya tidak mengalami perubahan
yang berarti. Apalagi setelah pemerintaha Sri Aji Dewa Agung Gede (1825-1870)
yang sangat lemah, yang memberi peluang beberapa punggawa daerah untuk
melepaskan diri dan membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Kedatangan Belanda ke
Indonesia khususnya ke Bali ikut memperkeruh sistem kemasyarakatan, sehingga catur
wangsa semakin kuat menjadi kasta ala Bali.
Pada tahun 1939 di
Klungkung berdiri organisasi keagamaan bernama Tri Murti, sedangkan di
Singaraja berdiri Perkumpulan Bali Dharma Laksana. Organisasi-organisasi
tersebut bermaksud memperbaiki pelaksanaan agama melalui penerbitan buku-buku,
untuk meningkatkan kualitas umat. Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita
Dharma yang bertujuan untuk mempersatukan berbagai paham keagamaan yang
terdapat di Bali. Pada waktu itu agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah
agama Siwa Raditya atau agama Sang Hyang Surya (sesuai dengan
dewa yang dipuja masyarakat Jepang).
Kemunculan Agama Tirta dan
Ajarannya
Aagama Tirta (air) muncul
pada zaman kedudukan Belanda di Indonesia, karena agama ini menyembah Siwa dan
Budha, dan umumnya upacara yang diadakan oleh agama Tirta menggunakan air suci.
Sekarang nama resmi agama ini adalah agama Hindu Dharma.
Agama Hindu Dharma adalah
agama upacara, umat pada umumnya tidak berbicara mengenai teologi namun setia
menjalankan upacara agama sesuai petunjuk para imam. Kepercayaan akan kehidupan
reinkarnasi itu disertai upacara ngaben (pembakaran mayat keluarga
kaya). Mereka yang terpelajar mencari pengertian mengenai dewa-dewi lokal dan
ikatannya dengan sesama dewa. Sebagai contoh dewa Batara di danau batur adalah
saudara dewa Batara di gunung Agung, padahal keduanya berasal dari dewa-dewi
Jawa kuno. Untuk menjaga Bali, Dewa Jawa (Sang Hyang Pasupati) mengirimkan 7
anak-anaknya ke Bali yang kemudian menjadi dewa-dewi lokal.
Penyebaran agama disamping
melalui para imam (ajaran Weda) juga dengan kuat ditanamkan melalui upacara dan
tari-tarian, khususnya yang bertemakan Mahabarata dan Ramayana, juga babad
(sejarah tradisi) dan tutu/ satua (sejarah yang diucapkan turun-temurun). Dewa
utama di Bali adalah Trimurti Weda, yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara)
dan Syiwa (perusak). Tiap keluarga Bali memiliki kuil (sangga) beruang tiga
untuk menyembah Trimurti dan roh-roh nenek-moyang. Di tingkat desa, desa adat
memiliki tiga kuil (pura-tiga kayangan), yaitu pura Desa, Puseh,
dan Dalem yang dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu dan Syiwa
bersama-sama. Disamping itu ada pura yang bersifat regional yang disebut 'Kahyangan
Jagad' (tempat suci dunia), seperti pura Besakih, Batur, Lempuyang
Luhur, Gua Lawah, Uluwatu, Batukara, Pusering Jagad, Pulaki, Tanah Lot, dan
Sakenan. Dari seluruh pura ini, pura Besakih di lereng gunung Agung
adalah yang terbesar. Kuil-kuil diisi Meru (pagoda) yang biasanya beratap
ganjil jumlahnya dan maksimum sebanyak 11 buah dan biasanya digunakan untuk
menghormati dewa-dewi atau nenek-moyang tertentu.
Agama Hindu Bali adalah
agama upacara dimana agama dituturkan dari generasi-ke-generasi yang diperkuat
dengan persembahan kepada dewa-dewi setiap hari, dan khususnya pada hari-hari
tertentu ada persembahan untuk mengingat hari raya tertentu, dan juga untuk
pergi ke kuil secara berkala. Setiap perayaan penting selalu didahului upacara
agama untuk mengusir roh-roh jahat. Demikian juga, bencana alam (termasuk
pengeboman di legian-Kuta) harus disucikan dengan upacara doa. Hindu Bali
menyembah dewa tertinggi yang disebut Sang Hyang Widi sebagai manifestasi dewa matahari Syiwa Raditya.
Cr : http://gudangtugasku.blogspot.com/2012/02/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar